Membangun Pribadi Santri Kosmopolit


Meskipun hanya beberapa hari di pesantren, gelar santri akan tertera di benak seseorang. Dengan berdomisili dan mengalami aktivitas sebagai santri tentunya tidak akan mudah karena harus bisa beradaptasi dalam multikultur yang beragam. Apalagi, jika gelar santri itu digandengkan dengan mahasiswa maka jadilah Mahasantri. Gelar ini juga tidak ringan diletakkan di pundak, karena mahasantri harus berada di dua dunia, dunia kampus dan dunia pesantren.

Kosmopolit terambil dari kata kosmopolitanisme bermakna paham (gerakan) yang berpandangan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi menjadi warga dunia atau biasa disebut paham internasional. Maksudnya tidak perlu memiliki kewarnegaraan adalah tidak peduli dia berasal dari ras, suku, agama bangsa manapun yang terpenting bagaimana ia dapat menebarkan perdamaian dengan saling berbagi pengetahuan, materi kepada sesama. Selain itu, makna kosmopolitanisme adalah sikap, kemungkinan atau potensi untuk bersikap terbuka terhadap segala hal yang ada di dunia. Karena asal kata cosmos punya implikasi pandangan luas.

Pengertian kosmopolitan berarti “mencakup segala”, saling berpengaruh dengan seluruh dunia, sesuatu yang sama di seluruh dunia. Orang kosmopolitan adalah orang yang merasa nyaman dimanapun di dunia. Ini bukan saja diplomat dan dan tokoh bisnis tapi bisa saja pelaut, TKI atau pemain bola. Mereka sesungguhnya sangat kosmopolitan. Kosmopolitan berarti menembus batas negara, dan tidak selalu hebat atau gemerlapan.

Walaupun secara politis terlingkari dengan suku, kultur, bahasa, tetapi di segala perbedaan itu memang sebaiknya dipersatukan. Saling membantu, saling berbagi, dan sebagainya. Itulah yang terlihat di bangsa kita Indonesia yang majemuk. Multikultur tidak memutuskan tali persaudaraan masyarakat karena mereka memiliki prinsip Bhinneka Tunggal Ika (beragam perbedaan satu tujuan).

Menurut Nur Syam (Tantangan Multikulturalisme Indonesia, 2009) dengan konsep syu'uban wa qabailan (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa), Islam sangat menghargai perbedaan. Ada perbedaan tetapi memiliki kesamaan dalam tali ikatan kemanusiaan (hablum min al-nas).

Atas dasar inilah, PESROM 2012 ini mengangkat tema “Membangun Pribadi Santri Kosmopolit”. Dengan tujuan agar para peserta dapat memiliki kepribadian yang kompleks, visioner, kritis dan progresif. Memang dalam jangka waktu 3 hari, harapan tujuan itu terwujud tentu tidak besar, namun memberikan kesan bahwa hidup dalam keberagamaan dan suasana pesantren yang dianggap negative itu sebenarnya menyenangkan, sangat kondusif dan sesuai untuk menumbuhkembangkan kepribadian yang sudah lama ini didambangkan bangsa dan Negara adalah hal yang tidak mustahil.

Dalam spirit inilah, akan lahir sebuah pemahaman baru yang dapat menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk perbaikan menuju negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur . Belajar dari kasus pembangunan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad, kita pun dapat mencontohnya untuk memperbaiki bangsa dan negara ini di masa mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Spirit kosmopolitanisme yang ditancapkan Nabi SAW di Madinah harus kita jadikan modal penting dalam mencipta babak baru kebudayaan dan tradisi di Indonesia. Karena, Indonesia sekarang sedang kehilangan jangkar nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban sehingga bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa depan. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara modern di dunia. Wallahualam (ZUL)


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »