Bahaya Harus Dihilangkan


A.   Pendahuluan
Sebenarnya tanpa kaidah fiqh, manusia sudah mengetahui akan makna dari bahaya yang harus dihilangkan, bahaya dihilangkan tidak boleh dengan bahaya serupa dan lainnya. Namun, sebab pedulinya para ulama untuk mengatur rumusan kaidah yurispudensi Islam, maka itu sangat membantu manusia lebih disiplin dan teratur dalam menjalankan syariat Islam.
Perlu diketahui bahwa kaidah “al-dhararu yuzalu” adalah salah satu kaidah yang termasuk dalam lima kaidah fiqh pokok selain kaidah segala sesuatu tergantung niatnya, keyakinan tak hilang karena keraguan, kesulitan menyebabkan kemudahan dan kebiasaan dapat menjadi hukum[1].
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah membagi beberapa bab, diantaranya:
  1. Apa dalil dasar bahwa bahaya itu harus dihilangkan ?.
  2. Apa saja cabang kaidah tersebut ?.
  3. Bagaimana contoh dan aplikasi kaidah tersebut ?.  
B.   Pembahasan
1.      الضرر يزال
“Sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan”

  1. Makna Kaidah
            Kaidah ini diambil dari sabda Nabi Saw. “ ضرر و لا ضرار لا”.[2] Makna dari kaidah ini ialah wajibnya seseorang untuk menghilangkan bahaya/yang membahayakan, walaupun kalimatnya disampaikan secara informatif, namun yang dimaksud adalah penekanan atas kewajiban menghilangkan bahaya itu. Karena   Islam menginginkan umatnya dalam kemudahan, sebab bahaya adalah termasuk kesulitan dan dapat merugikan maka harus dihilangkan.
  1. Contoh dan Aplikasi Kaidah
Menurut Imam Al-Suyuti  bahwa banyak bab fiqh didasarkan pada kaidah ini diantaranya mengembalikan barang yang dibeli karena cacat, adanya hukuman ta’zir, qishas, had, kafarat, memutus pernikahan ( faskh) karena cacat, dsb.[3] 
            Demikian juga dengan pengangkatan pemimpin dan hakim, membela diri dari orang yang mau membunuh, membunuh orang – orang musyrik dan pemberontak[4].
            Bisa juga ditambahkan jika dalam konteks keIndonesiaan yaitu, adanya ressuflle menteri karena jika ia dipertahankan khawatir kinerjanya semakin buruk, diturunkannya jabatan pengkorupsi, dinaikkannya gaji karyawan FrePort, dsb.
2.      الضرورات تبيح المحضورات
“Keadaan darurat memperbolehkan melakukan hal yang dilarang.”
a.       Makna kaidah
الضرورات adalah kata plural dari الضرورة , masdar dari lafal الاضطرار. Secara etomologi berarti keadaan yang sulit, misalnya dikatakan :  
  كذا  علي الضرورة نيحملت. (Kesulitan itu membuatku melakukan ini dan itu )[5].
  Menurut termonologi ialah keadaan yang memaksa seseorang untuk melakukan hal yang dilarang oleh syariat Islam.[6]
Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu  lain yang dapat menempati posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat diselesaikan dengan hal lain. ( Al-Zarqa ; 48 )
Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat - syarat untuk memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat[7].
Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang dilarang syariat ini tidak bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas tertentu. Dan disisi lain masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka perlu untuk menyinergikan antara kaidah satu dengan yang lain.
b.      Dalil Kaidah
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ 
Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
c.       Contoh & Aplikasi Kaidah
Boleh merusak harta orang lain saat dipaksa[8], seseorang dalam keadaan terpaksa memakan makanan orang lain, bersumpah al-kadzib sebab dipaksa[9].

3.      الضرورات تقدر بقدرها
Kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja”
a.       Makna Kaidah
Kaidah ini mempersempit kaidah sebelumnya bahwa sesuatu yang diperbolehkan dalam melakukan hal yang dilarang syariat  itu hanya dalam kadarnya saja yang dengannya dia dapat mengatasi keadaan darurat saja tanpa memperlebar diperbolehkannya melakukan yang diharamkan syariat di luar keadaan itu.
b.      Contoh & Aplikasi Kaidah
Perban pembalut luka wajib tidak menutupi anggota badan kecuali sekedar yang diperlukan saja. Demikian juga dokter melihat aurat pasien karena keadaan darurat saja, hanya sebatas yang wajib dilihat karena darurat untuk keperluan pengobatan. [10]
Jika laki-laki asing memeriksa darah seorang wanita yang bukan muhrimnya, maka dia wajib menutup semua lengannya wanita itu dan tidak boleh membukanya kecuali seusai dengan sekadar kebutuhan dalam memeriksa darahnya[11].
c.       الضرر لا يزال بمثله
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa”.
  1. Makna Kaidah
Ini termasuk syarat dari kaidah sebelumnya bahwa bahaya itu ialah kedzaliman, kemunkaran, keburukan dan kerusakan. Meskipun demikian cara menghilangkannya tidak boleh dengan bahaya serupa apalagi dengan bahaya yang lebih besar lagi. Sebab jika dihilangkan dengan bahaya serupa maka namanya bukan menghilangkan bahaya namun mengganti bahaya dengan bahaya yang lain.


  1. Aplikasi dan contoh kaidah
Pertama ; jika ada cacat dalam barang yang dibeli sebab pembeli, sekaligus ada cacat lama maka pembeli tidak boleh mengembalikan penuh barang itu kepada penjual karena dapat menyebabkan ruginya penjual dan hanya boleh adanya pengurangan harga. Contoh lain tidak boleh orang yang terpaksa memakan makanan orang yang terpaksa.[12]
d.      يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
”Bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum”.
a.       Makna Kaidah
Yang dimaksud bahaya umum adalah bahaya yang menimpa manusia secara umum.  Sedangkan bahaya khusus ialah bahaya yang menimpa orang – orang tertentu saja. Maka dari itu, bahaya umum harus dicegah meskupun dalam pencegahannya melibatkan bahaya khusus.
b.      Contoh dan Aplikasi Kaidah
Diperbolehkan menjual harta orang yang punya hutang namun tak mau melunasi hutangnya, sebagaimana juga diperbolehkan menjual makanan orang yang memonopoli secara paksa ketika diperlukan dan melarang menjualnya dengan harga tinggi untuk mencegah bahaya yang bersifat umum. Demikian boleh menggusur warung, rumah-rumah yang tanahnya illegal di pinggir jalan khawatir menyebabkan macetnya jalan.
            Contoh lain, diperbolehkan presiden melarang ekspor sebagian barang – barang pokok dari suatu negara ke negara lain, apabila ekspor itu berakibat naiknya harga barang di negara itu.



  1. Kesimpulan
Kaidah pertama menjelaskan bahwa bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi “ ضرر و لا ضرار لا”. Kedua, bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.
Untuk batasan dharurat, diantaranya : Pertama, dharurat dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali haidar, Affandi, Syarh Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah, juz 1,
Al-Suyuti, Jalal Al-Din, Al-Asybah Wa Al-Nadhair, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Maktabah Syamilah,
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah,
Ibn Najim, Al-Asybah wa Al-Nadhair, ( dalam Al-Wajiz ).
Ibn Nasr Al-Satri, Sa’ad, Syarh Mandhumah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Syamilah,
Salim Rustam Baz, Syarh Al-Majallah, ( Al-Wajiz )
Zaidan, Abdul Karim Al-Wajiz ( Pustaka Al-Kautsar: Jakarta ), Cet. I, 2008.



[1] Ibn Nasr Al-Satri, Sa’ad, Syarh Mandhumah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Syamilah, hlm. 72
[2] أخرجه مالك في الموطأ عن عمرو بن يحيى عن أبيه مرسلا وأخرجه الحاكم في المستدرك والبيهقي والدارقطني, ومن حديث أبي سعيد الخدري وأخرجه ابن ماجه من حديث ابن عباس وعبادة بن الصامت
[3] Al-Suyuti, Jalal Al-Din, Al-Asybah Wa Al-Nadhair, Maktabah Syamilah, hlm. 159.
[4] Salim Rustam Baz, Syarh Al-Majallah, hlm 29.
[5]  Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz ( Pustaka Al-Kautsar: Jakarta ), Cet. I, 2008. Dalam Ibnu Mansur, Lisan Al-Arab,jilid 4, hlm. 483.
[6] Ali haidar Affandi, Syarh Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah, juz 1, hlm. 344
[7] Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah,  hlm. 48.
[8] شرح القواعد الفقهية أحمد بن الشيخ محمد الزرقا سنة الولادة 1285هـ/ سنة الوفاة 1357هـ تحقيق صححه وعلق عليه مصطفى أحمد الزرقاالناشر دار القلم سنة النشر 1409هـ - 1989م مكان النشر دمشق / سوريا المصدر: موقع شبكة مشكاة الإسلامية( hlm. 185 )
[9] Al-Zarqa, Ibid. hlm. 110.
[10] Ibn Najim, hlm 95), Cet. I, 2008. Dalam. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz ( Pustaka Al-Kautsar: Jakarta
[11] Al-Suyuti,hlm. 113-114
[12] IBn Najim, AL-Asybah wa Al-Nadhair, hlm 96. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »