Talkshow bersama Iwan Setyawan

Iwan ; Seorang penulis 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel Ke The Big Apple.

Setelah BEM STAI Ma’had Aly Al-Hikam menggelar acara talkshow bersama dua orang putri bahasa, gantian OSPAM ( Organisasi Santri Pesantren Mahasiswa ) Al-Hikam mengadakan acara Talkshow. OSPAM mendatangkan seorang anak sopir angkot yang berhasil sukses di negeri Paman Sam, siapa lagi, ialah Iwan Setyawan. Acara yang dilaksanakan di Gedung Ma’had Aly lantai I itu disambut partipasi peserta yang semangat. Hampir kuota tempat duduk penuh. Acara ini dimulai tepat pukul 19.00 WIB, Senin malam, 14/11 ).

Dimulai dengan pembukaan dengan membaca ummul kitab, dilanjutkan dengan pembacaan lantunan ayat suci Al-Qur’an dengan khidmat. Sampai pada acara inti yakni Talkshow bersama Iwan Setiayawan. Bagian ini, MC memberikan kuasa waktu pada moderator, Arsyad. Menjadi pengantar, Arsyad memperkenalkan Iwan kepada seluruh peserta beserta menjelaskan curriculum vitae Iwan.

Pada saatnya, Iwan mulai berbicara setelah moderator mempersilahkannya. “Assalamualaikum”, salamnya kepada peserta dengan nada halus. “Saya sudah diundang oeh pesantren dua kali. Yang kedua disini ( Al-Hikam ), dan saya kira anak ( santri ) pesantren itu orangnya kereng-kereng ( kekar-kekar ) atau serem. Namun saya kagum dengan santri, dia bisa menggabungkan antara intelektual dengan spiritual. Apalagi ketika mendengar lantunan ayat suci yang dibaca tadi, suaranya menusuk dada sampai saya terenyuh.” Kesannya.

Dia menyatakan bahwa pesantren Al-Hikam memang unik. Dengan adanya gabungan antara santri yang kuliah di luar ( Pesma ) dan kuliah di dalam ( Ma’had Aly). Jadi santri yang didalam walaupun tidak keluar dengan berdiskusi dengan santri pesma, dia tidak ketinggalan.

Dia menuturkan, ternyata anak muda yang di Malang, Surabaya, Jakarta, Bandung dengan anak muda di New York, California, Eropa, itu tak lebih sama. Mereka menggunakan social network ( FB, Twitter ) sama seperti kita. Namun yang paling beda antara mahasiswa Indonesia dan Amerika, Eropa, bahwa mereka ( Amerika ) itu lebih banyak suka membaca. Membaca sudah menjadi tradisi 1000 tahun silam, dan suka menulis. Berbeda dengan mahasiswa atau orang intern ini, berapa banyak buku yang telah kau baca dalam sehari, seminggu, sebulan.

Anak muda sekarang yang usually great full. Harus membuat memori yang indah, harus creat beautiful memories. Menjadi seorang intelektual. Kalau masih malas-malasan maka saya ingin gampar satu-satu.

Suatu malam saya nongkrong di ruang tamu, saya tersenyum melihat keponakan saya teriak jempalikan karena melihat TV, dan tidurnya pun gampang, sudah enak tidurnya. Tapi mereka tidak tahu, bahwa perjalanan menggapai sukses itu sangat lama dan perlu perjuangan.

Mulailah, setelah saya sudah lama berada di rumah, tepatnya bulan Juli, saya ingin menulis sebuah novel. Malam itu, saya paksa mulai menulis. Saat besoknya, saya lihat lagi, saya pengen muntah, karena alay/lebay sekali tulisannya. Sampai 15 kali, 20 kali saya edit tulisan itu dan akhirnya jadilah suatu tulisan pengalaman mengenai seorang anak sopir yang bangkit dan merantau ke negeri Amerika sampai ia dapat membahagiakan orang tuanya. Itu berkat dukungan orang tua saya terutama ibu. Ternyata, Gramedia menyatakan menarik mencetak tulisan saya menjadi buku. Sebelumnya, saya minta saran kepada ibu, dan saran ibu “lakukanlah, siapa tahu ada orang yang terinspirasi karena membaca kisah seorang anak sopir yang menjadi seperti sekarang ini.” sungguh ibuku yang bijak.

Selain intelektual, komunikasi juga diperbaiki dan ditingkatkan kemampuannya. Terutama dalam berbahasa, bolehlah orang menertawakan kita karena bahasa inggris kita amburadul tapi lihat saja next 5 years nanti. Loncatan tinggi karena intelektual tinggi. Biar bapak saya sopir angkot namun saya tidak anggap jelek, saya melihat dari sisi lain bahwa perjuangan ayah saya begitu tinggi.

Saya punya teman bernama Agus Salim, kita mau kerja di luar negeri dan harus bisa bahasa inggris. Mau kursus pun saya tidak mampu. Namun keinginan begitu kuat, saat saya makan pecel lele, kacang ijo saya berbahasa inggris dengan dia. Sekarang Salim berada di Singapura dan berat badannya sampai 76 kilogram. Maka mumpung kamu masih muda dan segar, manfaatkanlah dan berjuanglah karena energimu sekarang, tak akan didapatkan nanti di hari tua.

Hadapi, enjoy, ekspresikan dirimu !. Kalau malasan, Garing men. Hidup kering tak ada manfaat. Mulailah pelajari Leadership dan juga personality. Dengan mempelajari personality, orang enak untuk mendekati anda. Gak serem. Dan hidup anda bisa berubah karena orang yang anda temui. Saya bertemu dengan tukang pecel dan dia memberitahu saya ada pekerjaan, maka saya bekerja disana sampai ke New York. Sekali lagi, orang yang anda temui bisa merubah hidup anda.

Tentang buku 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel Ke The Big Apple.



Ada orang yang Tanya tentang buku saya “Kenapa pake judul bahasa inggris?”. Kemenyek kataku. Saya menamai 9 musim panas dan 10 musim gugur karena di New York saya melalui waktu itu. karena banyak orang yang merasakan depresi saat musim panas beralih ke musim dingin, dan saya pun merasakan begitu. Saya kuat- kuatin, prinsip saya kalau belum membahagiakan keluarga saya tidak boleh pulang ke Indonesia.

Saat waktu tiba, dan saya tidak tahan ingin ke Indonesia, saya mengajukan surat permohonan mundur dari pekerjaan. Bosku mengatakan “Iwan apakah kau tidak memikirkan uang?” atau “are you crazy ?”. Setelah menimbang, Bosku menyuruh saya pulang ke Indonesia selama 2 bulan “Ya udah, kamu saya beri waktu kamu pulang ke negaramu sambil memikirkannya dengan serius” kata bosku.

Tiba di Indonesia, saya jalan-jalan ke Lombok, gunung Injani. Ketika saya diatas gunung Injani, saya merasakan kesejukan begitu indahnya Indonesia sambil yakin bahwa saya harus berada di Indonesia tidak kerja lagi di New York. Setelah itu saya kembali ke New York, di Bulan April 2010, saya mengundurkan diri ke sekian kali. Dengan relanya, akhirnya ia mengizinkan saya mundur dari karir itu. dia berkata “Go Home !”. Di akhir kata, bosku menawariku menjadi directur yang lebih tinggi namun saya membalas terimakasih atas tawarannya. Bulan Juni pulang, saya ditawari pekerjaan di Singapura sebagai seorang directur, namun saya berfikir dalam bahwa saya ingin membuat hal baru di rumah, di kota dan di Indonesia. Membuat sesuatu yang Indonesia dapat mengenal saya. Sesuatu yang dikenal bahkan dicinta.

Juli-desember 2010, saya mulai menulis novel, saya bukan orang sukses. Karena hidup itu gelombang, sukses gak sukses akan seperti gelombang, merasakan lika-liku perjalanan hidup. Dari bapak, saya belajar bagaimana menghadapi hidup, bahwa hidup itu tidak boleh menyerah, harus terus maju. Bapak seorang sopir yang professional. Dimulai dari kenek angkot, lanjut menjadi sopir angkot, sampai dapat membeli angkot sendiri dan terus, menjadi supir truk. Saya pun pernah berfikir, kok gini sih bapak saya ( sopir angkot ), tapi saya pun berfikir bahwa hidup itu adalah perjuangan.

Berbeda dengan bapak, ibu saya lebih gila, maksudnya gila baiknya. Dia seorang yang tidak lulus SD. Bayangkan mempunyia 5 orang anak, dan ibu saya ingin meng-kuliahkan semua anaknya. Ibu saya focus, ia pahlawan yang menyelamatkan anaknya. Bukan luar biasa, bahkan sempurna. ibu membangun ide untuk menabung. Ibu juga pintar mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak tanpa tersisa keesokan harinya, kapan keluarganya harus makan daging, ayam, atau tempe.

Iwan mengungkapkan, ibunya tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru bagi anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah. “Dia menghadirkan demokrasi berbagi di tengah pergulatan hidup. Ibuku adalah cermin kesederhanaan yang sempurna di mata kami dan kesederhanaan inilah yang menyelamatkan kami,”

“Ibu saya tahu bagaimana menggadaikan barang hanya untuk membelikan buku untukku.” . Iwan bertanya kepada ibunya “Bu, kenapa ingin anaknya ber-kuliah?.” “Uripku soro, gak enak, cukup aku ae sing soro. ( hidupku sengsara, tidak nyaman cukup aku saja yang merana ). Jangan sampai anak-anakku seperti aku.” Kata Ibunya.

Iwan mempunyai dua kakak dan dua adik. Dia ingin bertanggung jawab membahagiakan keluarga. Dia juga bercerita bahwa ia penakut, “Dari kecil, saya penakut. Mulai Tk, saya diantar oleh Ibu. SD sampai SMP, saya minta dibangunin jam 3 pagi hanya untuk belajar. Takut suatu saat nanti, saya menjadi sopir angkot, tidak menjadi orang sukses.” Keberaniannya menembus batas ketakutan. Jika ditanya cita-citanya dahulu, Iwan ingin menjadi Hansip. Kenapa ?, karena dia tertarik dengan sabuk tetangganya.

Impian terbesar adalah ingin punya kamar sendiri. Katanya, Impian sekecil apapun kejarlah, karena dengan itu kita mengeluarkan mimpi-mimpi baru. Jadi ciptakan sukses-sukses kecil gak langsung wualah / mendadak menjadi orang sukses. “Tanya diri anda ? sudah berartikah hidup saya hari ini. jika berarti maka kamu sukses kecil”. Katanya.

Kakaknya yang kuliah di Unibraw, sudah menyusahkan orang tuanya apalagi ditambah dengan Iwan. Sampai suatu ketika, Ibunya berkata kepada “Kamu harus pergi”. Dengan juang ayahnya yang rela menjual angkotnya untuk membiayai Iwan kuliah di IPB ( Institut Pertanian Bogor ). Tiba di Bogor selama satu minggu, Iwan tidak kerasan. Karena kenalan Iwan, saya Andi dari Semarang sebagai siswa teladan nasional, saya Rahmat sebagai finalis olimpiade matematika internasional, juara karya ilmiah nasional, dan sederet prestasi panjang lainnya.

Dalam kegalauan hatinya, ibunya menenangkan Iwan dengan mengatakan, “Coba dulu, belajar yang rajin, jangan takut.” Nasihat sang ibu memberi keyakinan bahwa menjalani proses adalah menjalankannya sekarang, saat ini, dengan kerja keras dan melepaskan ketakutan akan hasil yang didapat. Kegagalan ataupun keberhasilan sebuah proses adalah dimensi lain yang akan melahirkan pelajaran baru untuk proses selanjutnya. Alhasil, Iwan berhasil menjadi lulusan terbaik dari fakultas MIPA jurusan Statistika pada 1997.

Berikutnya, perjalanan Iwan menuju tangga kesuksesan dimulai. Setelah lulus dari IPB, Iwan diterima bekerja di AC Nielsen Jakarta sebagai data analyst selama dua tahun, lalu di Danareksa Research Institute (DRI). Tak lama berkarier di DRI, Iwan mendapat tawaran yang sulit dia tolak, yaitu sebagai data processing executive di Nielsen International Research di New York, AS. Ia tak pernah bermimpi mendatangi New York, terlebih mendapat kesempatan karier di perusahaan multinasional di negara Paman Sam itu. Nmaun, berkat kerja keras dan ketekunan, ia berhasil melampaui mimpinya.

Setelah 8 tahun berkarier di New York, Iwan berhasil menduduki posisi tinggi, sebagai Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York. Karena kerinduannya yang dalam pada tanah kelahirannya, Batu, di tahun ke-10 Iwan memutuskan untuk berhenti dari perusahaan ini dan memilih kembali ke Indonesia. “Aku ingin membangun sebuah kamar kecil, di Tanah Airku,” janjinya.

“Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kerinduan akan rumah kecil dan Tanah Airnya. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.”

Sumber: Talkshow bersama Iwan Setyawan di Gedung Ma’had Aly Lt. 1, Senin malam, 14 November 2011 selain dari KickAndy.com, Gramedia.com, portalHR.com

Oleh : Sabiq A.Z.[1]

[1] Mahasiswa STAIMA Al-Hikam Malang.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »