Sabil dan Pak Ahmad

Ashar itu membuat sabil merinding. Tangannya bergetar kencang. Dahinya mulai berkerut. Denyut jantungnya semakin keras berdetak. Belum selesai suara adzan dari masjid berkumandang, seluruh keluarga sabil menyimpan rasa haru dan kesedihan. Pak Ahmad. Dikabarkan telah tiada meninggalkan dunia menuju alam lain di rumah sakit slamet, garut kota.
Sabil memberanikan diri bergegas dengan sobatnya, Munir, menuju rumah sakit itu. mungkin waktu masih dapat dikejar, sehingga ia bisa langsung menemui mayat pak ahmad yang dulu menyayaginya. Kakinya siap menancap gas. Tangannya yang dilapisi sarung tangan kulit memutar atas – bawah dua stank motor. Jaket tebal biru dan celana jeans dikenakannya agar nyaman saat mengendarai motor ayahnya bermerek C-BR 2700. Munir dibelakangnya dengan kostum seadanya, sarung dan koko-an ala santri.      
Dengan laju kecepatan 100/kilometer/jam, sabil menembus angin lalang, melewati motor di depannya yang lamban, berbelok tajam bagaikan rossi dan berjalan lurus lagi. Di tengah jalan, sabil melihat ada razia motor tak terelakkan lagi ia harus dihadapkan seorang polisi di saat yang kritis ini. saat waktu ingin dikejar demi menemui seorang kakek yang tak bernyawa. Sabil harus bertatap muka dengan polisi, karena ketahuan melanggar aturan lalu lintas. Munir juga pasrah apa yang nanti disanksikan baik kepada dirinya maupun temannya. 
“Sudah tahu kesalahan saudara?”. Tegas polisi.
“Iya, Pak. Saya tidak memakai helm” jawab sabil dengan tenang.
“Sanksi saudara seperti tertera dalam pasal……..” jelas polisi menerangkan sanksi seorang pelanggar pengendara ditambah dengan bukti-bukti pasal yang dibacakan panjang. Di tengah pasal yang dibacakan. Sabil memotong
“Pak, saya tahu kesalahan kami. Dan ini tak lepas dari keceroban kami dalam berkendara, namun kali ini izinkanlah kami pak untuk menemui kakek kami yang baru saja meninggal di RS Slamet, ia akan dikebumikan di rumahnya Cikajang, jika terlambat datang disana, kami harus berjalan lebih lama lagi” begitu melasnya sabil memohon polisi agar melepaskannya kali ini saja. Karena ia tak bisa menemui kakeknya lagi dengan dekat jika ia terlambat datang ke RS Slamet. Kakeknya akan dimakamkan di Cikajang, kampung yang sangat jauh sekitar 10 kiloan dari rumah sabil.   
Merasa kasihan dengan nasib sabil. Jika ia ( polisi ) masih manahannya, maka sabil akan terlambat datang menemui kakeknya dan itu akan menyakitkan Sabil. Namun apabila ia melepaskannya, ia akan merasa lega dengan perbuatannya, bisa menolong orang lain sebagaimana tugas polisi seharusnya. Tapi sepintas, ia berfikir, bagaimana kalau ia biarkan tidak memakai helm menuju RS. Slamet dan terjadi kecelakaan. Prasangka itu ditangkisnya, ia percaya ke orang dihadapannya bahwa tak akan terjadi apa-apa kecuali yang diharapkan. Polisi pun bermurah hati setelah memilah-milih konsukuensi yang didapatnya. Sudah sifat sejati polisi untuk berfikir sebelum melakukan hal, itu berlaku juga bagi manusia lain tidak hanya polisi.
“Ya, sudah. Kali ini saya lepaskan saudara, namun untuk helmnya nanti dipakai. Hati-hati di jalan, dan jangan terburu-buru, semoga kau sampai menemui kakekmu” Kabul polisi dengan nada agak keras.
Sungguh bijak polisi itu,
Bersambung……..

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »