ROBI’AH ADAWIYAH


Antara Obor dan Ember Robi’ah


“Jika aku menyembahMu karena aku takut api nerakaMu, maka bakarlah aku di dalamnya!
“Dan jika aku menyembahMu karena tamak kepada SurgaMu, maka haramkanlah aku daripadanya.
“Maka jika aku menyembahMu karena kecintaanku Pada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, biarlah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia.”

            Bait-bait diatas adalah sekelumit kerinduan manusia akan cinta pada Tuhan. Untaian kalimat itu terucap dari mulut Robi’ah Adawiyah. Ia merupakan Sufi perempuan masyhur dari tanah Irak. Kerinduannya akan Tuhan menempatkannya pada sebuah pencapaian yang luar biasa. Cita rasanya akan cinta pada Tuhan menempatkannya menjadi salah satu ikon mistik islam sepanjang zaman. Ia adalah panutan para Sufi sesudahnya. Perempuan mulia ini bernama lengkap: Robi’ah Adawiyah Binti Ismail. lahir pada tahun 95 H atau 185 M di kota Basrah, Irak. Tentang Robi’ah ini, sastrawan besar Fariduddin Al-Aththar melukiskannya dengan tepat. “Robi’ah adalah wanita yang menyendiri dalam keterasingan suci, wanita yang bersandarkan ketulusan, wanita yang oleh cinta dan kerinduan  luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima oleh para lelaki sebagai Maria tanpa noda.”

            Dalam jagat sufisme, namanya setara dengan wali-wali agung. Konsep mahabbahnya menjadi inspirasi bagi ummat selanjutnya. Seperti bunga, harumnya membentang dari dulu hingga sekarang. Perindu Tuhan itu adalah pecinta paling sejati. Di tangannya konsep mahabbah (cinta Tuhan) menjadi lebih diterima. Dalam pandangannya hakekat tasawuf adalah Hibbullah atau mencintai Allah tanpa kecuali. Semua perbuatan yang dilakukan tidak dikarenakan rasa penuh harap akan pahala-Nya atau rasa takut akan siksanya. Tetapi perbuatan tersebut terdorong akan rindunya kepada sang Khalik. Ada tiga tingkatan Mahabbah untuk mencapai jalan Sufi. Pertama Zuhud, Kedua Ridlo, dan Ketiga Ihsan. Kesemuanya ini akan menghantarkan cinta menusia kepada Allah.

            Banyak penulis-penulis cemerlang yang menulis tentang sosok Sufi ini. Gagasan mahabbahnya mampu menyihir banyak Sufi, sastrawan dan pemikir sesudahnya. Mulai dari Abu Nasr As-Sarraj sampai Margareth Smith menggalinya dalam sebuah buku. Bahkan pemikir Muktazilah , Al-Jahiz dalam bukunya Al-Bayan Wat Tabyin menganggap penting pemikiran Rabi’ah bagi perkembangan pemikiran Islam. Tokoh ini menjadi Sufi pertama yang diperkenalkan di negeri barat. Legendanya dibawa oleh Joinville, seorang duta Louis IX ke Prancis. Bahkan sastrawan mutakhir Jerman masa kini, Max Mell menuliskannya dalam Cerpen Die Schonen Hande.

MASA YANG PENUH KESULITAN

            Ayahnya bernama Ismail Al-Adawi Al-Qassy. Rabi’ah yang berarti keempat mempunyai masa kecil yang kelam. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa keluarganya tergolong sangat miskin, sampai-sampai pada masa persalinannya, Ismail tidak mempunyai uang sama sekali. Novelis Mesir Widad El-Sakakini melukiskannya dengan sangat mengharukan. Hanya sang yang menemani istrinya saat melahirkan. Proses kelahirannya berjalan tanpa lampu penerangan. Segan dan malu telah mencegah Ismail untuk minta tolong tetangganya. Rasa sakit semakin menjadi-jadi menimpa istrinya. Maka ia memohon kepada suaminya untuk mencari mentega dan minyak . mulailah Ismail mengetuk pintu para tetangganya, namun tak ada sambutan ramah.

            Ditengah kebingungan ini Ismail kembali ke pangkuan istrinya, wajahnya lesu. Melihat situasi ini, sang istri hanya berdoa, karena dengan doa ia aman dan damai. Tidak lama kemudian tangis bayi memekakkan dinding rumah. Seorang bayi perempuan telah lahir, tetapi harapan Ismail kembali terkubur, keinginannya memiliki seorang anak laki-laki kandas. Sebuah doa meluncur dari mulutnya. “Tuhan mengabulkan sejumlah anak laki-laki kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.”

            Banyak cerita unik sekitar kelahirannya. Sufi besar Persia Fariduddin Aththar menulis dalam Tadzkiratul Awliya sebagai berikut: Ayahnya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah menjelang kelahiran Rabi’ah. Dalam mimpinya itu nabi bersanda, jangan bersedih sebab anak perempuanmu yang akan lahir ini adalah seorang suci yang agung yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu ummatku. Dengan mimpi itu, kemiskinan yang dihadapi keluarganya dinikmatinya dengan penuh keasyikan.

            Jalan Robi’ah sangat muram , apalagi setelah ditinggal mati ayah dan Ibunya. Pada waktu kekeringan melanda Basrah, Robi’ah kemudian berpencar dengan kakak-kakaknya. Ia menjadi seorang budak, hidupnya penuh penderitaan, masa kecil dan remajanya dihabiskan dalam lilitan pekerjaan yang berat. Kepandaiannya bermain musik menjadikan Rabi’ah sebagai alat majikannya untuk menghimpun kekayaan. Perilaku kasar tuannya itu diterima dengan tabah.

            Lilitan kesulitan dilalui Rabi’ah dengan kecintaan pada sang Khalik. Suatu ketika majikannya mendengar Robi’ah berdoa, seberkas cahaya memancar dari rona wajahnya. Doa ini digambarkan Abdul Mun’im A-Qindil dalam kitab Rabi’ah Al-Adawiyah, Adzarul Basrah Al-Bathul: Ya Allah , Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanya untuk memenuhi perintah-Mu, jika aku dapat mengubah nasibku ini , niscaya aku tidak akan lekang sejenakpun untuk mengabdi kepada-Mu. Kalimat itu menggambarkan sang majikan, tidak lama kemudian Rabi’ah dibebaskan. Pengelanaan akan cinta abadinya  pada Tuhan Adalah jalan hidup Rabi’ah selanjutnya. Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Basrah Irak.

DOA DAN KEKERAMATAN

            Laiknya pecinta sejati, kata-katanya menusuk langsung ke jantung, jiwa, bagi seorang Sufi lafadz cinta pada Tuhan menjadi doa. Tak hanya indah dan puitis, didalamnya mengandung makna yang dalam tentang semesta ini. Rabi’ah mengalunkan tembang cintanya melebihi sufi di zamannya, tentang cinta ini Rabi’ah pernah menulis:

            “Kucintai dikau dengan dua cinta: Cinta yang sungguh-sungguh dan cinta yang tidak patut, dari cinta yang sungguh-sungguh aku akan menikmati dalam mengingat-Mu, untuk mengenang selain-Mu. Dan untuk cinta yang tidak patut, kubutuhkan rahasia-Mu sendiri untuk kulihat. Jangan sampai tak ada rasa syukur bagiku dalam kedua cinta itu; rasa syukur hanya kepada-Mu.”

            Tentang “Pujaannya” itu ia menulis: “Oh Kekasih hati, aku tidak akan memberikan apapun kecuali bagi-Mu. Karenanya kasihanilah hati ini si pendosa yang datang kepada-Mu. Oh harapanku dan istirahku dan kenikmatanku, hatiku tak bisa mencintai apapun kecuali Kau, satu.” Dilain catatan ia melukiskan rasa cintanya ini dalam sebuah syair: oh Tuhan telah berlalu dan fajarpun tiba, betapa aku ingin mengetahui, apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku, karenanya hiburlah daku, karena kata-kata-Mu lah yang dapat menghibur keadaanku ini. Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, dan kata-kata-Mu lah kejayaan itu. Jika kau hendak mengusirku dari pintu-Mu, aku akan meninggalkannya, karena cinta yang kusimpan dalam hatiku terhadap-Mu.

            Disamping penyair handal, Rabi’ah dikenal penuh dengan kekeramatan. Pernah suatu ketika ini ingin memamasak, ternyata bawang yang akan dibuat bumbu tidak ada, tiba-tiba saja jatuh sebutir bawang dari langit. Dilain waktu rumahnya pernah dimasuki pencuri, saat si pencuri masuk kerumah, ia sedang melaksanakan shalat dan berdoa. Pencuri itu tidak mengambil barang-barang Rabi’ah, tetapi yang dilakukannya hanyalah menunggu perempuan suci itu berdoa, tetapi ketika selesai Rabiah tahu dan mengajaknya berdoa, setelah berdoa pencuri diperbolehkan pulang kerumah.

            Cerita aneh juga menimpa Rabi’ah ketika naik haji, barang bawaannya diletakkannya di pundak seekor keledai. Dalam perjalanan binatanag itu mati, Robi’ah kemudian berhenti dan menolak melanjutkan perjalanan. Kemudian Rabi’ah berdoa, “Ya Allah engkau undang hamba ke rumah-Mu, tetapi keledai hamba mati di tengah perjalanan dan hamba seorang diri di tengah keganasan ini.” sesaat kemudian setelah memenjatkan doa, keleadai itu berdiri tegak, Rabi’ah naik ke atas punggung dan menyusul rombongannya.

            Rabi’ah juga dikenal sebagai wali Majdzub yang aneh. Suatu saat ia pernah membawa obor keliling kota Basrah, ketika ditanya, jawabannya mengagetkan. Rabi’ah akan membakar Ka’bah di Makkah, kenapa, karena semua orang hanya datang ke Mekkah tanpa cinta kepada Allah, pernah juga berkelilng kota Basrah dengan membawa Ember berisi air, ia berteriak lantang, bahwa ia akan memadamkan api neraka jahanam yang menjadi ketakutan umat Islam Ummat Islam hanya takut kepada api neraka bukan kepada Allah.
(Al-Kisah Nomor 1/tahun I/ 1 Juli 2003)

















































Share this

Related Posts

Previous
Next Post »