Sejarah Pengkodifikasian Al-Hadist


          Sebenarnya faktor apa yang membuat hadist baru dikodifikasi ( dibukukan ) pada masa khalifah Umar Ibn Abdul Aziz ?. Kenapa pada masa Ustman atau Ali hadist belum dibukukan, mengingat bahwa al-quran telah menjadi satu mushaf.  itu adalah bahan hangat diskusi pada Jumat pagi dengan mata kuliah ilmu hadist. ( 28/10).
          Ada yang menjawab, faktornya karena ruang lingkup wilayah Islam pada saat sayyidina Ustman masih belum luas. Namun alasan ini kurang rasional, menatap bahwa perkembangan Islam pada masa Ustman sudah pesat sekaligus mengingat banyaknya perbedaan dialektika pembacaan Al-Quran.
          Ada lagi, karena  politik. Maksudnya bahwa Khalifah Abdul Aziz ingin dianggap menjadi orang paling berjasa dalam pengkodifikasian kadist karena menjadi orang pertama dalam sejarah sekaligus ia memanfaatkan posisi yang didafat sebagai khalifah.
          Namun ketika Ust. Daman menerangkan bahwa banyak faktor salah satunya karena pada masa Abdul Aziz banya pemalsuan hadist yang sudah ada sejak masa perpecahan goongan Islam antara Syiah dan Khawarij. Antara kubu Ali vs Muawiyah. Karena pemalsuan semakin menjadi, tidak terelakkan lagi, Abdul Aziz semenjak menjadi gubernur sudah berinisiatif adanya pengkodifikasian hadist. Dan saatnya, ketika ia menjadi khalifah langsung menginstruktukan para gubernur di wilayah Islam untuk mengumpulkan hadist di diwilayahnya masing – masing.
          Sangat menggelitik. Dahulu terjadi mana antara adanya Al-quran dan hadist. Sempat bingung. Namun akhirnya terpecahkan, bahwa al-quran dan hadist saling melengkapi alias secara dialektika ada. Ada ayat asbab al-nuzulnya hadist dan ada hadist menerangkan asbab nuzul ayat. Seperti peristiwa seorang sahabat yang mengadu pada Nabi bahwa istrinya sedang palang merah ( haid/menstruasi ). Maka turunlah ayat “Wa yasalunaka an al-mahidh. . . . .
Dan apakah ketikan Nabi menjelaskan ayat Al-Quran itu dicatat seluruhnya oleh sahabat. Berarti harus dibedakan antara wahyu tuhan yang orisinil dengan keterangan nabi tentang ayat itu yang dapat menjadi hadist. Maka dari itu jelaslah, ketika nabi melarang menulis hadist pada saat turunnya ayat yang dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran.
          Ternyata kitab hadist tertua dan masih otentik terjaga keasliannya dipegang oleh kitab karangan Imam Malik, seorang guru Imam Syafi’I, yakni Al-Muwattha’. Walau sebenarnya masih ada yang tertua dari kitab ini, namun sayangnya kitab itu tak sampai di tangan kita secara teori.
          Apakah nabi saat menyampaikan hadist melihat ruang dan waktu. Misalnya jika di pasar, Nabi menerangkan tentang transaksi jual-beli.?
Bersambung. . .

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »