Warisan & Ajaran Ibn Arabi


1.      Biografi Singkat Ibn ‘Arabi
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia berasal dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakannya dengan Abu Bakar Ibn al-‘Arabi al-Ma’afiri, (w. 543/1148), seorang ahli hadis dan fikih serta seorang qadhi dari Sevilla.[1]

Ia lahir di Murcia, Spanyol pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat, pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajarannya.[2] Pada usia 8 tahun ia bersama keluarganya pindah ke Sevilla.[3] ’Ali, ayah Ibn ‘Arabi, membawa pergi keluarganya ke Sevilla (ibu kota Spanyol) karena Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad).[4]
Di Sevilla ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadis, dan Fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm al-Zhahiri. Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Di antara deretan gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan al-Ghauts al-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah. Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari Alomohand di Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.[5]
Di antara karya monumentalnya adalah al-Futuhat al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman al-Asywaq, yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia. Karya-karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Maolavi yang kemudian dikutip oleh Rosihon Anwar, adalah Masyȃhȋd al-Asrar, Mathali’ al-Anwar al-Ilahiyah, Hilyat al-Abdal, Kimiya al-Sa’adat, Muhadharat al-Abrar, kitab al-Akhlaq, Majmu’ al-Rasa’il al-Ilahiyah, Mawaqi al-Nujum, al-Jam’ wa al-Tafshil fi Haqȃ’iq al-Tanzil, al-Ma’rifah al-Ilahiyah dan al-Isra’ ila Maqȃm al-Atsna.[6]
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh delapan tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.[7]
2.      Ajaran Tasawuf Ibn Arabi
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa memopulerkan ke tengah masyarakat islam, meskipun tujuannya adalah negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah, seperti yang dijelaskan oleh Rosihon Anwar, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.[8]
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn ‘Arabi itu dari segi tasybih-Nya (penyerupaan Khaliq dengan makhluq) saja, tapi belum menilainya dari aspek tanzih-Nya (penyucian Khaliq). Sebab, kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi. akan tetapi, perlu disadari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi pun banyak yang membawa pada pengertian seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah, meskipun di tempat lain terdapat kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan antara Khaliq dengan makhluq dan antara Tuhan dengan alam.[9]
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun kepada-Nya.[10] Hal ini tersimpulkan dalam ucapan ibn ‘arabi,
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu”.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.[11]
Pengertian ‘wujud’ yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurutnya adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam, tidak memiliki wujud. Walaupun kenyataannya Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk menyebut sesuatu selain Tuhan, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya itu, Ibn ‘Arabi memberikan contoh, yaitu cahaya hanya milik matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Dalam bentuk lain, dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh kholiq (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang menpunyai wujud hakiki, sedangkan yang  diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Jadi sebenarnya yang diciptakan (makhluk dan alam) tidak mempunyai wujud sebab yang mempunyai wujud (yaitu wujud mutlak) hanya Tuhan. Dengan demikian, wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan.
A.  Al-Ghazali
1.           Biografi singkat Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin  Muhammad bin Muhammad bin Ta’us ath-Thusi asy-Syafi’ al-Ghazali dan mendapat gelar “Hujjah al-Islam”.[12] Secara singkat ia dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali.[13] Ia dipanggil al-Ghazali   karena dilahir di kampung Ghazlah, sebuah kota di khurasan, Iran pada tahun 450 H/1058 M. Ayahnya adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, menyenangi ulama, dan sering aktif mengikuti majelis-majelis pengajian.[14] Dan ia juga seorang ahli tasawuf yang saleh, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, masih kecil. Namun sebelum meninggal, ayahnya telah menitipkan kedua putranya kepada seorang ahli tasawuf untuk mendidik dan membimbingnya.[15]
Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani, di Thus.[16] Lalu, ia menuntut ilmu di Jurjan kepada Syekh Abi al-Qasim Ismail bin Mas’adah al-Islamiy al-Jurjani, seorang pengikut madzhab Syafi’i dan seorang sastrawan. Pada tahun 473 H, ia pergi ke Naisabur untuk belajar fiqh, logika, dan ushul kepada Imam al-Haramain, Abu al-Ma’ali al-Juwaini. Kemudian, ia pindah ke Mu’askar dan berhubungan dengan Nidzam al-Mulk, Perdana Menteri Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru di Universitas Nidzamiyah di Baghdad.[17] Pekerjaan sebagai guru ia laksanakan dengan sangat baik sehingga menjadi terkenal. Bahkan, Al-Ghazali sempat mendalami falsafah secara mandiri dan menulis beberapa buku.[18]
pada tahun 488 H/1095 M, Al-Ghazali dilanda keraguan, skeptis tentang kegunaan pekerjaan dan karyanya, sehingga ia menderita penyakit yang sulit diobati. Oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan kuliah di universitas tersebut. Lalu, ia meninggalkan pekerjaanya dan kariernya sebagai ahli hukum dan teolog.[19]
Selanjutnya Al-Ghazali pindah ke Damaskus lalu ke Palestina. Di kota-kota ini ia merenung, membaca, dan menulis. Sesudah itu, tergeraklah hatinya untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai, ia pulang ke kota kelahirannya, Thus. Di sana ia tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah. Keadaan skeptis itu berlangsung selama sepuluh tahun, terhitung sejak kepindahannya ke Damaskus. Pada masa inilah, Al-Ghazali menulis karyanya yang terkenal,  menulis karyanya yang terkenal, yaitu Ihyȃ’ Ulȗm ad-Dȋn.[20]
Karena desakan penguasa Saljuk pada masa itu, Al-Ghazali bersedia mengajar kembali di Madrasah Nidzamiyah di Naisabur. Akan tetapi, pekerjaan itu hanya berlangsung dua tahun, dan ia kembali lagi ke Thus. Di kota ini, Al-Ghazali kemudian mendirikan sekolah untuk fuqaha dan sebuah biara untuk mutashawwifin. Di kota ini pula, al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir   tahun 505 H/ 1111 M.[21] pada usia 54 tahun.[22] 
2.           Ajaran tasawuf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Quran dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihyȃ’ Ulȗm ad-Dîn, Minhȃj al-Âbidȋn, Mȋzȃn al-Amal, Bidȃyah al-Hidȃyah, Mi’rȃj as-Sȃlikin, Dan Ayuhal Walad.[23]
Menurut Al­­­-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat di capai dengan  mematahkan hambatan-hamabatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar; dan moral mereka adalah yang paling bersih. Hal itu karena gerak dan diam mereka, baik lahir maupum batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mempu memberikan penerangan.
Al-Ghazali menolak paham hulȗl dan ittihȃd. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat,  yaitu pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, al-Ghazali disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT. Makrifat menurut versi al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqȃmȃt) dan keadaan (ahwȃl).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia islam. Dialah orang yang mampu memadukan ketiga keilmuan islam, yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf  sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
a.        Pandangan Al-Ghazali tentang makrifat
Menurut Al-Ghazali –sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution –makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Alat untuk memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution menjelaskan pendapat al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qushairi bahwa qalb dapat mengetahui segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya  Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb, dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Saat itulah, ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
Dalam kitab Ihyȃ’ Ulȗm ad-Dȋn, Al-Ghazali memebedakan jalan pengetahuan sampai kepada tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan berada di dalam rumah. Keyakinan orang awan dibangun atas dasar taklid hanya mengikuti perkataan orang bahwa si pulan ada di rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si fulan di rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar, walaupun orangnya tidak kelihatan. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si pulan benar-benar berada di dalam rumah.[24]
Makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifah menurut al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun ulama mutakallimin, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat diperoleh oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Seperti ilmu kenabian yang diperoleh secara langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
b.        Pandangan Al-Ghazali tentang as-sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Dalam kitab kimiya’ as-sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmat mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb –sebagai alat memperoleh makrifat-- terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lain. Sebagaimana perasaan bertemu menteri akan lebih bangga dan senang daripada perasaan dapat bertemu presiden. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seorang tentunya lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagian sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia telah mati. Hal itu karena qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

BAB III
SIMPULAN
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H dan berasal dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn ‘Arabi, seorang qadhi dari Seville yang wafat tahun 543 H. Pada usia 8 tahun ia bersama keluarganya pindah ke Seville. di sana, ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadis, dan Fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm al-Zhahiri.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Yang dimaksud ‘wujud’ oleh Ibn ‘Arabi adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurutnya adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam, tidak memiliki wujud. Walaupun kenyataannya Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk menyebut sesuatu selain Tuhan, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya itu, Ibn ‘Arabi memberikan contoh, yaitu cahaya hanya milik matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin  Muhammad bin Muhammad bin Ta’us ath-Thusi asy-Syafi’ al-Ghazali dan mendapat gelar “Hujjah al-Islam”. Ia dilahir di kampung Ghazlah, sebuah kota di khurasan, Iran. pada tahun 450 H/1058 M. dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir   tahun 505 H/ 1111 M. pada usia 54 tahun.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Quran dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Menurutnya makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat untuk memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Adapun as-sa’adah (kelezatan dan kebahagiaan) yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon ,2009, Akhlak tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Solihin dan Anwar, Rosihon, 2008, ilmu tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Faruq, Umar , 1983, Tarih al-Fikr al-‘Arabiy ila Ayyami Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Ansori Salam, 2009, Wahdatul Wujud Dan Tajali. Online (http://ansoriuin.blogspot.com/ 2009/10/ibn-arabi-wahdatul-wujud-dan-tajali) diakases  tgl. 26 Desember 2010.
Facebook, 2010, Sejarah Ringkas Al-Ghazali. Online (http://lt-lt.facebook.com/notes/ihya/ sejarah-ringkas-al-ghazali)  diakases  tgl. 26 Desember 2010.


[1] Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 169.Lihat Juga Wordpress, 2008, Ibn ‘Arabi: Kehidupan, Karya, Dan Pengaruhnya. Online (http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/) diakses tgl. 02 Januari 2011.

[3]  Ansori Salam, 2009, Wahdatul Wujud Dan Tajali. Online (http://ansoriuin.blogspot.com/ 2009/10/ibn-arabi-wahdatul-wujud-dan-tajali) diakses  tgl. 26 Desember 2010.

[4] Wordpress, Loc. Cit.
[5] Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[6] Ibit.,hlm. 169-170.
[7] Wordpress, Loc. Cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 171.
[10] Solihin dan Rosihon  Anwar, ilmu tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm.  176-177.
[11] Ibid.
[12] Rosihon Anwar, Op. Cit.,129.
[13] Ia dipanggil Abu Hamid  karena ia mempunyai anak laki-laki bernama Hamid. Anak ini meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya Al-Ghazali. Karena inilah Al-Ghazali digelari Abu Hamid. Lihat Solihin dan Rosihon  Anwar, op. cit.,hlm. 135.
[14] Ibid.
[15] Rosihon Anwar, Loc.Cit.

[16] Facebook, 2010, Sejarah Ringkas Al-Ghazali. Online (http://lt-lt.facebook.com/notes/ihya/sejarah-ringkas-al-ghazali)  diakases  tgl. 26 Desember 2010.

[17] Umar Faruq, Tarih al-Fikr al-‘Arabiy ila Ayyami Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1983), hlm. 485.
[18] Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 130.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21]  Facebook, Loc. Cit.
[22] Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[23] Ibid, hlm. 131.
[24] Ibid, hlm. 132-133.

Penulis Makalah ini adalah Aziz sebagai wakil presiden BEM 2011-2012.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »