AL-HALLAJ

AL-HALLAJ

SUFI “GILA” YANG DI SALIB DAN DI BAKAR

Sufi besar ini mempunyai tempat cukup penting dalam dunia Tasawuf. Pernyataan-pernyataannya cendrung Kontroversial.

Seperti Socrates – fisuf besar Yunani sekian abad sebelum masehi yang harus mati minum racun – Al-Hallaj juga tokoh besar dan filsuf yang di hukum mati karena mempertahankan pendapat dan ajarannya. Mereka sama-sama meninggalkan banyak legenda yang masih dibicarakan orang hingga kini. Lebih penting lagi ialah pemikiran dan gagasan-gagasannya yang brilian. Sudah ratusan buku yang membahas kedua tokoh ini.

Adapun Al-Hallaj mempunyai pendapat tersendiri dalam dunia sufi. Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan cendrung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis – sampai sekarang.

Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi pada tahun 858 M / 224 H di Baida, Iran. Masa remajanya di habiskan di kota Tustar, belajar pada sahal ibnu Abdullah At-Tustari, sufi besar yang terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu ke Bagdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.

Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya di Basrah, dan kembali ke Bagdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke perguruan milik Syekh Junaid Al-Bagdadi. Tapi disini ia kembali melontarkan ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang oleh gurunya.

Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh, Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil menegmbara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan – karena ilmu agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang AL-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki ke keramatan.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang Khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.

Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh AL-Hallaj ditefsirkan bahwa Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”

“API CINTA”

Menurut Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian bahwa, kendati manusia adalah makhluk dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat kemanusiaan yang menyerupai tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain, tabiat kemanusiaan adalah tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan tabiat ketuhanan Allah SWT Maha sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi se zamannya yang berbicara seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang bahkan dianggap Gila. Lain halnya dengan AL-Hallaj, ia tidak dianggap gila, tapi orang waras yang bijak.

Banyak kisah unik disekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj) tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan diwarnai oleh darahmu!” maka sahut Al-Hallaj, Benar, Tapi engkau juga akan melemparkan pakaian kesufianmu dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.” Dan ternyata dua ramalan itu menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj benar-benar dirangsang oleh “Api cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq” tanpa henti.

Para gurunya dan teman-temannya seperti Syekh Junaid dan As-Syibli, menasehati dia agar menahan diri. Namun ia tidak mempan oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja mengulang seruannya, “Ana Al-Haq,” setiap saat. Gara-gara itulah, kaum Ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj, di dukung oleh Hamid bin Abbas, perdana mentri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”, yang menyatakan Bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum mati.

Tapi ketika hukuman itu disampaikan untuk mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir Billah menolaknya, kecuali fatwa tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian keulamaan. Setelah itu ia menulis pada surat jawaban: menurut hukum syariat, Al-Hallaj dapat di jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah Maha Tahu!.

Maka AL-Hallaj pun ditangkap pada tahun 910 M / 297 H. ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara. Para ulama pro pemerintah menuduhnya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan syariat. Bahkan ia dituduh berkomplot dengan kelompok perusuh Qaramithah yang mengancam kedaulatan Bani Abbasiyah. Maka Al-Hallaj pun di hukum mati dengan cara di salib, bahkan jenazahnya di bakar, dan abunya di hanyutkan di sungai Dajlah.

Sebelum di hukum mati, ia salat dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk membunuhku, karena fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau membuka hati mereka, seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan seperti yang sedang mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku seperti engkau menutup hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti ini.”

Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan besar sekaligus noda hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup terus, tak lekang oleh ruang dan waktu.

( Alikisah Nomor 16 . 2 –15 Agt 2004 )

Selasa, 5 Juli 2012 (NGOBROL MA BULE)

Selasa, 5 Juli 2012 (NGOBROL MA BULE)

Meski tadi malam aku tidur tidak lama hanya sekitar 3 jam, lalu shalat shubuh, pagi ini aku tetap semangat. Kenapa ? ya setelah melakukan rancangan yang panjang, akhirnya aku harus segera melaporkan beberapa tema yang akan diangkat dalam kuliah tamu BEM Al-Hikam. Sebenarnya, aku sangat malu sekali kepada senior yang menunggu progress BEM sekarang mengenai kuliah tamu ini. Aku sekedar share saja, kenapa baru sekarang laporan itu disampaikan kepada pak Kasuwi. Pertama, banyak job yang sebenanrya harus ditangani secara serius dan tak akan pernah berhenti sampai waktunya yakni PMB, aku tidak menyangka harus bergandengan dengan pengurus harian terutama presnya yang kurang aktif, vocal dan sebagainya. Ini aku jadikan peluang bukan kelemahan untuk menyadarkan diriku agar selalu progress dalam setiap job. Namun disela kelemahan yang aku sebutkan, terdapat kekagumanku kepada dia. Mulai komitmennya dari memakai sandal tidak ghasab, shalat jamaah, kesopanan, keramahan dan kesabarannya.

Disini aku mengerti bahwa pres dan wapres adalah dua jiwa yang salng melengkapi. Aku pun mengakui bahwa aku memiliki banyak kekurangan mulai dari ketidaksadaran memakai sandal gak jelas satunya hijau dan satunya biru. Prinsipku dalam penggunaan sandal ini adalah memakai sandal yang dikira tidak jelas pemiliknya. Walaupun ghasab, aku menyadari bahwa hal itu terlarang dan aku tidak tega khususnya memakai sandal yang terlihat apik, moles misal merek Eiger dll. Pengalamanku disini mengenai sandal pun harus aku terima yaitu hilangnya sandal Eiger. Wah kalau bahas secara detail satu paragrap tak cukup untuk sandal ini. Kekuranganku keterlambatan masuk kelas, shalat berjamaah.

Intinya pagi ini aku akan melaporkan rancangan tema kuliah tamu kepada pak rector. Mulai awal aku mandi persiapkan diri, eh ternyata pak pres terlelap tidur membuatku tidak semangat, aku membangunkan dan menanyakan komitmennya teap saja dia tidak sadar. Biarkanlah, aku mengerti dia kecapekan tadi malam makan denganku namun lihat aku tidak segitunya sampai mengabaikan pelaporan kepada pak rector. Kalau ditunda, aku harus menunggu lagi nanti hari kamis.

Waktu tiba, mata kuliah ushul fiqh selesai. Aku bersiap menunggu di kantor dan akhirnya aku jelaskan mengenai rencana BEM mengadakan kuliah tamu yang paling disoroti adalah tema Revitalisasi Pendidikan Pancasila. Pak bibit pemateri awal, dan aku ditanya siapa itu pak bibit. Aku pun tidak terlalu mengerti rinci profil pak bibit, apakah dosen UM, UIN, UMM atau apalah. Pak kasuwi segera menawarkan temannya yaitu prof. Dr. Samsul arifin disertakan memberi no.nya kepadaku. Aku pun turut senang sudah tidak repot lagi jika ingin mengonfirmasi pemateri kedua.

Setelah ditandatangani dan diberi catatan dana untuk pemateri. Aku lega, satu misi selesai. Misi selanjutnya yakni, lapor kepada eks presiden bem, Subur Wijaya, kata dia semester 6 akan mengundang Imam Nakhoi pada akhir bulan ini. Sedangkan jadwal yang aku ajukan tadi, sekitar 10 hari lagi, Sabtu, 16 Juni. Saya khawatir tanpa kordinasi akan memberikan pengaruh kepada kesiapan selanjutnya. Misi lain yakni, mencari dan memilih dua profil pemateri, mana yang lebih berkompeten di bidang pancasila, lebih berpengalaman mana, serta sudah berapa kali dia menulis buku. Itu semua menjadi tolak ukur kami dalam memilih kompetensi antar keduanya.

Yang mengesankan dalam Selasa ini, aku tanpa rencana awal, diajak mas Hanif pergi mengunjungi rumah bule. Ah, baru kali ini pikirku dan skill speakku masih dibawah rata-rata, menjadikan aku gak pede untuk menerima ajakan itu. Aku beralasan ada kuliah, padahal kuliahnya masih lama, tapi tak kusangka mas Hanif mengajak dengan sedikit memaksa dan perasaanku seperti tidak rela menolak tawaean itu. Ok lah. Aku mengambil helm dan pergi meluncur.

Sampainya di rumah bule, aku terkaget dengan bahasa indonesianya yang cukup lancer. Padahal dia baru 3 bulan. Ini mengindikasikan akan semagatnya untuk belajar bahasa Indonesia begitu tinggi. Hah, masa bule bisa aku gak bisa. Hal yang dapat dilakukan orang lain pasti bisa dilakukan aku jika ada kesungguhan dalam menggapainya. Ngobrol ngalor ngidul seperti ngobrol dengan bahasa jawa. Aku juga aktif dalam obrolan itu dengan memerhatikan mereka berbicara, mengajukan pertanyaan, asyik deh baru pertama dan mengesankan menjadi bahan pembelajaran untuk meningkatkan motivasi bahasa inggris. Seperti tulisan ini semakin deras aku lanjut saja.

Obrolan kami mengenai perkenalan dimulai mas Hanif, menurutku mas Hanif orangnya terbuka dan pintar dalam menempatkan kata-kata dengan waktu yang sesuai. Ceritanya, ayahnya di Sumatera adalah pengusaha kelapa sawit, bahan dasar minyak goreng. Sebenarnya backgroundnya ekonomi, entah kenapa dia mengambl jurusan sastra inggris di UNISMA. Awalnya dia pasif dan tidak tahu bahsa inggris, padahal ia sudah menginjak mahasiswa. Tanpa patah semangat, dia belajar kepada temannya, mengerjakan soal latihan terus-menerus sampai sekarang semester 8 dia sudah menguasai beberapa kosa kata dan dapat mengkomunikasikannya dengan lancar.

Lalu ngobrol persoalan budaya antara jawa, sumatera dan amerika. Tingkatan bahasa jawa berbeda dengan inggris sehingga ia dapat menyimpulkan english is easy. Ada persoalan lain mengenai perkiraan orang timur menganggap Amerika banyak keburukannya seperti banyak minum alcohol, ke doskotik. Langsung si bule itu melambaikan tangannya kanan-kiri tanda mengklarifikasi bahwa tidak semua seperti itu. “Tidak semua” dengan fasih bule itu mengucapkan. Lainnya, mengenai makanan khas jawa yang disukai, khas amerika. Dsb. di akhir sesion, teman bule datang untuk mengatarkan beli batik di pasar besar.

Malamnya aku dihadapkan dengan dua persoalan yang berbunturan. Diskusi bem dan rapat pesrom. Selain menjadi ketua pesrom, aku memiliki tanggungan menjadi wakil presiden Bem. Apalagi kalau misalnya anggotaku tahu bahwa presiden gak ada dan wakilnya ada rapat. Wah, mereka sudah ancang ancangan mencari alasan agar diliburkan. Ya, karena kordinasi presiden belum jelas sehingga aku sedikit kesal, dengan renungan tidak lama aku minta mereka menunda diskusi ini.

BERSAMBUNG . . .